Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang
harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di
Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran
adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah.
Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan
keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan
nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah
kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan
Bimbingan dann Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di
sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi
Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan
“Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran
pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang
berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang,
menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas.
Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah
berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam
mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal
dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk
apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa
bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi
diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata
pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka
kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang
tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap
di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya
menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil
ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi
malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah
atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas
arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak
jelas tersebut mengakibatkan:
- Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
- Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelaskelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
- Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
- Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya.
- Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
Lahirnya Pola 17 Plus
Program layanan bimbingan Konseling
tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak didukung dengan
profesionalismenya guru BK tersebut dalam melayani siswanya dengan
terprogram secara efektif apabila kurang atau tidak didukung faktor
lain, misalnya faktor pengalaman bekerja.
Layanan konseling yang diberikan kepada
peserta didik untuk belajar dengan efektif. Efektivitas konseling dapat
tercapai bila seorang konselor atau guru pembimbing melaksanakan pola
17, antara lain:
- bidang bimbingan pribadi,
- bidang bimbingan sosial,
- bidang bimbingan belajar,
- bidang bimbingan karier.
Sedangkan tujuh layanan bimbingan dan konseling meliputi :
- layanan orientasi,
- layanan informasi,
- layanan penempatan dan pengukuran,
- layanan pembelajaran,
- layanan konseling perorangan,
- layanan bimbingan kelompok,
- konseling kelompok.
Dan lima kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling, meliputi:
- aplikasi instrumentasi,
- himpunan data dan studi kasus,
- kunjungan rumah, dan
- alih tangan kasus.
Jika pola 17 bimbingan konseling
dapat dilaksanakan maksimal, terprogram, dan berkualitas, dapat
menunjang hasil belajar siswa. Pelaksanaan bimbingan konseling pola 17
tersebut dapat maksimal apabila dalam kurikulum diberikan alokasi waktu
minimal 1 jam pelajaran sehingga empat bidang bimbingan, delapan
layanan, dan lima kegiatan pendukung dapat diberikan pada seluruh siswa
dan bukan pada siswa yang bermasalah saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar